Selasa, 12 Oktober 2010

TAFSIR : Berdebat Tanpa Ilmu (Bagian 3 - SELESAI)

Namun di samping dalil-dalil yang melarang berdebat tersebut di atas, juga terdapat nash-nash lain yang menunjukkan kebolehannya. Di antara yang menunjukkan bolehnya berdebat adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

ادْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ

“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Rabbmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (An-Nahl: 125)

Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan beberapa kisah debat antara Rasul-Nya dengan orang-orang kafir. Seperti kisah Ibrahim ‘alaihissalam yang mendebat kaumnya. Demikian pula debat Nabi Musa ‘alaihissalam dengan Fir’aun, dan berbagai kisah lainnya yang disebutkan dalam Al-Qur`an. Demikian pula dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyebutkan perdebatan antara Nabi Adam dan Musa ‘alaihissalam, sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat Al-Bukhari dan Muslim dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu.

Ibnu Rajab rahimahullahu berkata: “Banyak dari kalangan imam salaf mengatakan: Debatlah kelompok Al-Qadariyyah dengan ilmu, jika mereka mengakui maka mereka membantah (pemikiran mereka sendiri). Dan jika mereka mengingkari, maka sungguh mereka telah kafir.”

Demikian pula banyak terjadi perdebatan di kalangan ulama salaf, seperti yang terjadi antara ‘Umar bin Abdil ‘Aziz rahimahullahu dengan Ghailan Ad-Dimasyqi Al-Qadari, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma yang mendebat kelompok Khawarij, Al-Auza’i rahimahullahu yang berdebat dengan seorang qadari (pengikut aliran Qadariyyah), Abdul ‘Aziz Al-Kinani rahimahullahu dengan Bisyr bin Ghiyats Al-Marisi Al-Mu’tazili, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu dengan para tokoh ahli bid’ah, serta yang lainnya, yang menunjukkan diperbolehkannya melakukan dialog dan debat tersebut. (Mauqif Ahlis Sunnah, 2/597)
Apa yang telah kami sebutkan di atas menunjukkan bahwa dalam masalah berdebat, tidak dihukumi dengan sikap yang sama. Namun tergantung dari keadaan, tujuan, dan maksud dari perdebatan tersebut.

An-Nawawi rahimahullahu berkata:
“Jika perdebatan tersebut dilakukan untuk menyatakan dan menegakkan al-haq, maka hal itu terpuji. Namun jika dengan tujuan menolak kebenaran atau berdebat tanpa ilmu, maka hal itu tercela. Dengan perincian inilah didudukkan nash-nash yang menyebutkan tentang boleh dan tercelanya berdebat.”

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu berkata: “Pertengkaran dan perdebatan dalam perkara agama terbagi menjadi dua:

Pertama: dilakukan dengan tujuan menetapkan kebenaran dan membantah kebatilan. Ini merupakan perkara yang terpuji. Adakalanya hukumnya wajib atau sunnah, sesuai keadaannya. Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

ادْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ

“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Rabbmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (An-Nahl: 125)

Kedua: dilakukan dengan tujuan bersikap berlebih-lebihan, untuk membela diri, atau membela kebatilan. Ini adalah perkara yang buruk lagi terlarang, berdasarkan firman-Nya:

مَا يُجَادِلُ فِي آيَاتِ اللهِ إِلاَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوا

“Tidak ada yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah, kecuali orang-orang yang kafir.” (Ghafir: 4)

Dan firman-Nya:

وَجَادَلُوا بِالْبَاطِلِ لِيُدْحِضُوا بِهِ الْحَقَّ فَأَخَذْتُهُمْ فَكَيْفَ كَانَ عِقَابِ

“Dan mereka membantah dengan (alasan) yang batil untuk melenyapkan kebenaran dengan yang batil itu; karena itu Aku adzab mereka. Maka betapa (pedihnya) adzab-Ku.” (Ghafir: 5) [Mauqif Ahlis Sunnah, 2/600-601]

Ibnu Baththah rahimahullahu berkata: “Jika ada seseorang bertanya: ‘Engkau telah memberi peringatan kepada kami dari melakukan pertengkaran, perdebatan, dan dialog (dengan ahlul bid'ah). Dan kami telah mengetahui bahwa inilah yang benar. Inilah jalan para ulama, jalan para sahabat, dan orang-orang yang berilmu dari kalangan kaum mukminin serta para ulama yang diberi penerangan jalan. Lalu, jika ada seseorang datang kepadaku bertanya tentang sesuatu berupa berbagai macam hawa nafsu yang nampak dan berbagai macam pendapat buruk yang menyebar, lalu dia berbicara dengan sesuatu darinya dan mengharapkan jawaban dariku; sedangkan aku termasuk orang yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan ilmu tentangnya serta pemahaman yang tajam dalam menyingkapnya. Apakah aku tinggalkan dia berbicara seenaknya dan tidak menjawabnya serta aku biarkan dia dengan bid’ahnya, dan saya tidak membantah pendapat jeleknya tersebut?’

Maka aku akan mengatakan kepadanya: Ketahuilah wahai saudaraku –semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmatimu– bahwa orang yang seperti ini keadaannya (yang mau mendebatmu), yang engkau diuji dengannya, tidak lepas dari tiga keadaan:

(1) Adakalanya dia orang yang engkau telah mengetahui metode dan pendapatnya yang baik, serta kecintaannya untuk mendapatkan keselamatan dan selalu berusaha berjalan di atas jalan istiqamah. Namun dia sempat mendengar perkataan mereka yang para setan telah bercokol dalam hati-hati mereka, sehingga dia berbicara dengan berbagai jenis kekufuran melalui lisan-lisan mereka. Dan dia tidak mengetahui jalan keluar dari apa yang telah menimpanya tersebut, sehingga dia bertanya dengan pertanyaan seseorang yang meminta bimbingan, untuk mendapat solusi dari problem yang dihadapinya dan obat dari gangguan yang dialaminya. Dan engkau memandang bahwa dia akan taat dan tidak menyelisihinya.

Orang yang seperti ini, yang wajib atasmu adalah mengarahkan dan membimbingnya dari berbagai jeratan setan. Dan hendaklah engkau membimbingnya kepada Al-Kitab dan As-Sunnah serta atsar-atsar yang shahih dari ulama umat ini dari kalangan para sahabat dan tabi’in. Semua itu dilakukan dengan cara hikmah dan nasihat yang baik. Dan jauhilah sikap berlebih-lebihan terhadap apa yang engkau tidak ketahui, lalu hanya mengandalkan akal dan tenggelam dalam ilmu kalam. Karena sesungguhnya perbuatanmu tersebut adalah bid’ah. Jika engkau menghendaki sunnah, maka sesungguhnya keinginanmu mengikuti kebenaran namun dengan tidak mengikuti jalan kebenaran tersebut adalah batil. Dan engkau berbicara tentang As-Sunnah dengan cara bukan As-Sunnah adalah bid’ah. Jangan engkau mencari kesembuhan saudaramu dengan penyakit yang ada pada dirimu. Jangan engkau memperbaikinya dengan kerusakanmu, karena sesungguhnya orang yang menipu dirinya tidak bisa menasihati manusia. Dan siapa yang tidak ada kebaikan pada dirinya, maka tidak ada pula kebaikan untuk yang lainnya. Siapa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala beri taufiq, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan meluruskan jalannya. Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menolong dan membantunya.”

Abu Bakr Al-Ajurri rahimahullahu berkata:
“Jika seseorang berkata: ‘Jika seseorang yang telah diberi ilmu oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, lalu ada seseorang datang kepadanya bertanya tentang masalah agama, lalu mendebatnya; apakah menurutmu dia perlu mengajaknya berdialog agar sampai kepadanya hujjah dan membantah pemikirannya?’
Maka katakan kepadanya: ‘Inilah yang kita dilarang dari melakukannya, dan inilah yang diperingatkan oleh para imam kaum muslimin yang terdahulu.’

Jika ada yang bertanya: ‘Lalu apa yang harus kami lakukan?’
Maka katakan kepadanya: ‘Jika orang yang menanyakan permasalahannya kepadamu adalah orang yang mengharapkan bimbingan kepada al-haq dan bukan perdebatan, maka bimbinglah dia dengan cara yang terbaik dengan penjelasan. Bimbinglah dia dengan ilmu dari Al-Kitab dan As-Sunnah, perkataan para shahabat dan ucapan para imam kaum muslimin. Dan jika dia ingin mendebatmu, maka inilah yang dibenci oleh para ulama, dan berhati-hatilah engkau terhadap agamamu.’

Jika dia bertanya: ‘Apakah kita biarkan mereka berbicara dengan kebatilan dan kita mendiamkan mereka?’
Maka katakan kepadanya: ‘Diamnya engkau dari mereka dan engkau meninggalkan mereka dalam apa yang mereka bicarakan itu lebih besar pengaruhnya atas mereka daripada engkau berdebat dengannya. Itulah yang diucapkan oleh para ulama terdahulu dari ulama salafush shalih kaum muslimin." (Lammud Durr, Jamal Al-Haritsi hal. 160-162)

SUMBER:
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=512
http://darussalaf.or.id/stories.php?id=872

Tidak ada komentar:

Posting Komentar