Rabu, 13 Oktober 2010

Artikel = Wanita di Persimpangan Jalan: Kepala Rumah Tangga Perempuan atau Ibu Rumah Tangga Bagian 1

Wanita di Persimpangan Jalan: Kepala Rumah Tangga Perempuan atau Ibu Rumah Tangga

Oleh. Dra. Rahma Qomariyah, M.Pd.I
(Anggota DPP Muslimah HTI dan Ketua Lajnah Tsaqofiyah Muslimah HTI Pusat)

Pengantar

Pada tahun 1928 saat kongres pemuda para wanita juga ikut sehingga sumpah pemuda diucapkan oleh pemuda dan pemudi. Semangat perjuangan ini terus berkobar di kalangan organisasi perempuan, sehingga mereka mengadakan Kongres Perempuan Indonesia I pada tanggal 22 Desember 1928 di Yogyakarta[1]. Kongres Perempuan Indonesia (KPI) di Yokyakarta tersebut merupakan tonggak awal pergerakan modern kaum perempuan di Indonesia. Hasil dari Kongres Perempuan Indonesia I adalah dua hal yang sangat penting dilakukan oleh perempuan Indonesia yaitu: meningkatkan harkat perempuan, dan ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Disamping itu kongres ini melahirkan organisasi perempuan yaitu Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI)[2] .

Inilah puncak perjuangan wanita, dengan terselenggaranya kongres perempuan pertama tanggal 22 Desember 1928. Dan merupakan wujud peran serta perempuan dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan. Karenanya tanggal 22 desemser diperingati sebagai hari Ibu[3].

Peringatan tersebut antara lain: dengan memanjakan sang ratu rumah tangga, lomba, seminar, diskusi dan workshop. Pada hari istimewa itu para ibu rumah tangga diberi’cuti’ tidak melakukan pekerjaan rutinnya yaitu urusan rumah tangga, bahkan ganti bapak-bapak yang mengerjakan dan melayaninya. Tidak jarang dalam diskusi, seminar dan workshop sebagai peringatan hari ibu, digulirkannya kembali ide-ide feminisme yang menuntut pekerjaan rumah tangga merupakan kewajiban bersama suami-isteri. Sehingga muncul jabatan baru bagi wanita sebagai perempuan kepala keluarga dan bagi laki-laki sebagai bapak rumah tangga.

Feminisme: Peran Wanita Sebagai Ibu Rumah Tangga bukan Kewajiban, tapi Bentukan Budaya.

Patriarkhi dipahami secara harfiyah yang berarti ”kekuasaan bapak”(role of the father) yaitu keluarga yang dipimpin dan dikuasai laki laki[4]. Dampak budaya patriarkhi pada pembagian peran adalah sebagai berikut suami berperan di sektor publik, produktif, maskulin dan kewajiban mencari nafkah utama. Sementara peran isteri di sektor domestik, reproduksi, feminin dan seandainya mencari nafkah, maka sebagai pencari nafkah tambahan[5].

Konstruksi sosial tentang gender menjadikan perempuan lebih memilih pekerjaan yang sifatnya melayani dan masih berkaitan dengan peran domestiknya di rumah tangga. Dengan demikian lapangan kerja juga mengalami segregasi atau pemilahan antara tugas laki-laki dan perempuan. Peran yang umum dipilih oleh perempuan pun menjadi guru, perawat, pekerja sosial, buruh sederhana, sekertaris dan lain sebagainya. Masyarakat juga lebih memandang laki-laki mampu menjadi insinyur, dokter, astronot dan lain-lain[6].

Perempuan dan laki-laki adalah hasil dari sebuah relasi sosial. Jika kita mengubah relasi sosial, maka kita mengubah kategori perempuan dan laki-laki.Selanjutnya akan mempengaruhi beban kerja. Pada masyarakat patrilineal dan androsentris, beban gender laki-laki lebih dominan daripada anak perempuan. Dan setiap masyarakat akan dipengaruhi faktor kondisi obyektif geografis, yang kemudian ikut menentukan sistem sosial budaya yang khas.

Adanya pemahaman bahwa peran gender diatas dapat dipertukarkan, baik bagi laki-laki maupun perempuan dan tidak dapat dikatakan sebagai sesuatu yang bersifat kodrati yang hanya melekat pada jenis kelamin tertentu.

Dalam Jurnal HARKAT, disebutkan bahwa mayoritas yang menempatkan laki-laki sebagai pemimpin wanita dalam rumah tangga karena salah dalam menafsirkan surat an Nisa’ ayat 34.
الرِّجالُ قَوّٰمونَ عَلَى النِّساءِ بِما فَضَّلَ اللَّهُ بَعضَهُم عَلىٰ بَعضٍ وَبِما أَنفَقوا مِن أَموٰلِهِم ۚ فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِلغَيبِ بِما حَفِظَ اللَّهُ ۚ وَالّٰتى تَخافونَ نُشوزَهُنَّ فَعِظوهُنَّ وَاهجُروهُنَّ فِى المَضاجِعِ وَاضرِبوهُنَّ ۖ فَإِن أَطَعنَكُم فَلا تَبغوا عَلَيهِنَّ سَبيلًا ۗ إِنَّ اللَّهَ كانَ عَلِيًّا كَبيرًا ﴿٣٤﴾
Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri[7][289] ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka)[290][8]. wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya[291][9], Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya[292][10]. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.

Selanjutnya penulis memaparkan pemahamannya tentang surat tersebut, merujuk pendapat Asghar Ali Engineer bahwa ayat tersebut bersifat deskriptif atau sosiologis.Bahwa turunnya ayat tentang laki-laki menjadi pemimpin wanita dalam rumah tangga, pada masyarakat yang pada saat itu kaum laki-laki memiliki kelebihan dari wanita berupa harta dan menafkahkan hartanya kepada keluarganya. Dan perintah itu sifatnya tidak wajib karena tidak berbentuk kata perintah atau ayatnya tidak berbunyi: ”Kaum laki-laki wajib/harus menjadi pemimpin bagi wanita”. Ayat yang tidak berbentuk perintah tidak bisa dianggap sebagai ayat yang normative/teologis dan preskriptif atau difahami sebagai perintah dan bisa dipakai sebagai pedoman[11].

Karenanya menurut penulis artikel ini bahwa UU Perkawinan yang mengatur Peran suami dan isteri sudah tidah cocok dan penetapan peran suami sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah menciptakan streotype[12]. Misalnya undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 31 ayat 3 menyatakan bahwa ” Suami adalah Kepala Keluarga dan isteri adalah ibu rumah tangga . Dan pasal 34 ayat 1 menyatakan bahwa ”Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya”.

bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar