Jumat, 01 Oktober 2010

Dua puluh landasan (al-ushul al’isyrin) (Hasan Al Banna)

“Anda yakin bahwa fikrah (pandangan) kami adalah fikrah Islamiyah yang solid, tangguh, serta Anda memahami bahwa Islam seperti apa yang kami pahami dalam kerangka dua puluh landasan (al-ushul al’isyrin).” (Hasan Al Banna)

1. Islam adalah sistem yang menyuluruh, yang menyentuh seluruh segi kehidupan. Ia adalah negara dan tanah air, pemerintah dan umat, akhlak dan kekuatan, kasih sayang dan keadilan, peradaban dan undang-undang, ilmu dan peradilan, materi dan kekayaan alam, penghasilan dan kekayaan, jihad dan da’wah, pasukan dan pemikiran, sebagaimana juga bahwa ia adalah aqidah yang lurus dan ibadah yang benar, tidak kurang dan tidak lebih

2. Al-qur’an yang mulia dan sunah rasul yang suci adalah tempat kembali setiap muslim untuk memahami hukum-hukum Islam. Ia harus memahami Al-qur’an sesuai dengan kaidah bahasa arab, tanpa takalluf (mamaksakan diri) dan ta’assuf (serampangan). Ia juga harus memahami sunnah yang suci melalui rijalul hadist (perawi hadist) yang terpercaya

3. Iman yang tulus, ibadah yang benar, dan mujahadah (kesungguhan dalam beribadah) adalah cahaya dan kenikmatan yang ditanamkan Allah di hati hambaNya yang Dia kehendaki. Sedangkan ilham, lintasan perasaan, ketersingkapan (rahasia alam), dan mimpi, bukanlah bagian dari dalil hukum-hukum syariat. Ia bisa dianggap dalil dengan syarat jika tidak bertentangan dengan hukum agama

4. Jimat, mantra, ramalan, perdukunan, penyingkapan perkara gaib, guna-guna dan semisalnya, adalah kemungkaran yang harus diperangi kecuali mantra dari ayat Al-Qur’an atau ada riwayat dari Rasulullah saw

5. Pendapat iman atau wakilnya tentang sesuatu yang tidak ada teks hukumnya, tentang sesuatu yang mengandung ragam interpretasi, dan tentang sesuatu yang membawa kemaslahatan umum, bisa diamalkan sepanjang tidak bertentangan dengan kaidah umum syariat. Ia mungkin berubah seiring dengan situasi, kondisi dan tradisi setempat. Yang prinsip, ibadah itu diamalkan dengan kepasrahan total tanpa mempertimbangkan makna. Sedangkan dalam urusan selain ibadah (adat istiadat), maka harus mempertimbangkan maksud dan tujuannya

6. Setiap orang boleh diambil atau ditolak kata-katanya kecuali rasulullah saw. Setiap yang datang dari kalangan salaf dan sesuai dengan kitab dan sunnah, kita terima. Jika tidak sesuai dengannya, maka kitabullah dan sunnah RasulNya lebih utama untuk diikuti. Namun demikian, kita tidak boleh melontarkan kepada mereka kata-kata caci maki dan celaan ketika berselisih. Kita serahkan saja kepada niat mereka dan mereka telah berlalu dengan amal-amalnya

7. Setiap muslim yang belum mencapai kemampuan telaah terhadap dalil-dalil hukum furu’ (cabang) hendaklah mengikuti pemimpin agama. Namun alangkah baiknya jika ia pun berusaha semampu mungkin untuk mempelajari dalil-dalilnya sambil mengikutinya. Hendaknya ia menerima setiap masukan yang disertai dengan dalil, selama ia percaya dengan kapasitas orang yang memberi masukan itu. Dan hendaknya ia menyempurnakan kekurangannya dalam hal ilmu pengetahuan, jika ia termasuk orang yang pandai hingga mencapai derajat penelaah

8. Khilaf dalam masalah furu’, hendaknya tidak menjadi faktor pemecah belah dalam agama, tidak menyebabkan permusuhan dan tidak juga kebencian. Setiap mujtahid mendapatkan pahalanya. Sementara itu, tidak ada larangan melakukan sutudi ilmiah yang jujur terhadap persoalan khilafiyah dalam naungan kasih sayang dan saling membantu karena Allah swt untuk menuju kebenaran. Semua itu tanpa melahirkan sikap egois dan fanatik

9. Setiap masalah yang amal tidak dibangun diatasnya (sehingga menimbulkan perbincangan yang tidak perlu), adalah kegiatan yang dilarang secara syar’i. Misalnya memperbincangkan makna ayat-auay al-Qur’an yangkandungan maknanya tidak dipahami oleh akal dan pikiran, dsb

10. Ma’rifat kepada Allah dengan sikap tauhid dan penyucian (dzatNya) adalah setinggi-tingginya tingkatan akidah dalam Islam. Sedangkan mengenai ayat-ayat sifat dan hadist shahih tentangnya, serta berbagai keterangan mustasyabihat yang berhubungan denganNya, cukup diimani sebagaimana adanya tanpa ta’wil dan ta’thil serta tidak memperuncing perbedaan yang terjadi diantara para ulama. Kita mencukupkan diri dengan keterangan yang ada, sebagaimana Rasulullah saw dan para sahabat mencukupkan diri dengannya

“Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata, ‘Kami beriman kepada ayat-ayat yang mustasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.’” (Ali Imran: 7)

11. Setiap bid’ah dalam agama Allah yang tidak ada pijakannya tetapi dianggap baik oleh hawa nafsu manusia, baik berupa penambahan maupun pengurangan, adalah kesesatan yang wajib diperangi dan dihancurkan dengan menggunakan cara yang terbaik, yang tidak justru menimbulkan bid’ah lain yang lebih parah

12. Perbedaan pendapat dalam masalah bid’ah idhafiyah (bid’ah penambahan, seperti berdzikir dengan suara keras), bid’ah tarkiyah (misalnya praktek orang tasawuf yang meninggalkan makanan yang hukumnya halal dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah swt dan menyiksa diri), dan iltizam (membuat peraturan bagi ibadah yang bersifat mutlak, misalnya membaca secara rutin adzkar pada setiap malam jum’at dengan jumlah bilangan tertentu) terhadap ibadah muthlaqah (yang tidak ditetapkan, baik secara cara maupun waktunya) adalah perbedaan dalam masalah fiqh. Setiap orang mempunyai pendapat sendiri, namun tidaklah mengapa jika dilakukan penelitian untuk mendapatkan hakikatnya dengan dalil dan bukti-bukti

13. Cinta kepada orang salih, memberikan penghormatan kepadanya dan memuji karena perilaku baiknya adalah bagian dari taqarub kepada Allah swt. Sedangkan para wali adalah mereka yang disebut dalam firmanNya, “Yaitu orang-orang yang beriman dan mereka itu bertaqwa.”

Karamah terhadap mereka itu benar terjadi jika memenuhi syarat syar’inya. Itu semua dengan suatu keyakinan bahwa mereka tidak memiliki madharat dan manfaat bagi dirinya apalagi bagi orang lain, baik ketika masih hidup maupun setelah mati.

14. Ziarah kubur (kubur siapapun) adalah sunah yang disyariatkan dengan cara-cara yang disunahkan oleh Rasulullah saw. Akan tetapi meminta pertolongan kepada penghuni kubur siapapun mereka, berdoa kepadanya, memohon pemenuhan hajat (dari jarak dekat maupun kejauhan), bernadzar untuknya, membangun kuburnya, menutupinya dengan satir, memberikan penerangan, mengusapnya untuk mendapatkan berkah, bersumpah dengan selain Allah dan segala sesuatu yang serupa dengannya adalah bid’ah besar dan wajib diperangi. Jangan mencari ta’wil (pembenaran) terhadap berbagai perilaku itu, demi menutup pintu fitnah yang lebih parah lagi

15. Doa apabila diiringi dengan tawasul kepada Allah dengan salah satu mahlukNya adalah perselisihan furu’, menyangkut tata cara berdoa, bukan termasuk masalah aqidah

16. Istilah yang sudah mentradisi (misalnya, praktek ribawi dalam kehidupan ekonomi yang sudah dikemas dengan berbagai istilah sehingga mengesankan hukum boleh dan wajar), tidak mengubah hakikat hukum syar’inya. Akan tetapi, ia harus disesuaikan dengan maksud dan tujuan syariatnya itu, dan kita berpedoman dengannya. Disamping itu, kita juga harus berhati-hati terhadap berbagai istilah yang menipu (misalnya, prinsip bahwa Islam sangat peduli terhadap kaum dhuafa sehingga sering dijadikan hujjah bahwa Islam sama dengan sosialisme), yang sering digunakan dalam pembahasan masalah dunia dan agama.

17. Akidah adalah fondasi aktifitas. Aktifitas hati lebih utama dibandingkan aktifitas fisik, namun keduanya harus diupayakan untuk bisa disempurnakan

18. Islam itu membebaskan akal pikiran, menghimbaunya untuk melakukan telaah terhadap alam, mengangkat derajat ilmu dan ulamanya sekaligus, dan menyambut hadirnya segala sesuatu yang melahirkan masalahat dan manfaat.

19. Pandangan syar’i dan pandangan logika memiliki wilayahnya masing-masing yang tidak dapat saling memasuki secara sempurna. Namun demikian, keduanya tidak akan pernah berbeda (selalu beririsan) dalam masalah yang qath’i (absolut). Hakikat ilmiah yang benar tidak mungkin bertentangan dengan dengan kaidah syariat yang tsabitah (jelas). Sesuatu yang zhanni (interpretable) harus ditafsirkan agar sesuai dengan yang qath’i. JIka yang berhadapan adalah dua hal yang zhanni, maka pandangan syar’i lebih utama untuk diikuti, sampai logika mendapatkan legalitas kebenarannya atau gugur sama sekali

20. Kita tidak mengkafirkan seorang muslim yang telah mengikrarkan dua kalimat syahadat, mengamalkan kandungannya, dan menunaikan kewajibannya, baik karena lontaran pendapat maupun karena kemaksiatannya, kecuali jika ia mengatakan kata-kata yang kufur, mengingkari sesuatu yang telah diakui sebagai bagian penting dari agama, mendustakan secara terang-terangan Al-Qur’an, menafsirkan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab, atau berbuat sesuatu yang tidak mungkin diinterprestasikan kecuali dengan tindakan kufur

Allah adalah TUJUAN kita…ALLAH GHAYATUNA
Al-qur’an adalah PEDOMAN kami
Rasulullah shallallahu alaihi wassalam TELADAN kita…
Jihad adalah JALAN kita…
Syahid adalah SETINGGI-TINGGINYA CITA-CITA kita…

sumber: MAJMU’ATUR RASAIL 1 (Kumpulan Risalah Da’wah Hasan Al-Banna),

Tidak ada komentar:

Posting Komentar